2011/04/15

COLTAN, DARI KONGO KE TANGAN-TANGAN ANDA (2-3 kali lipat dari harga emas)


Coltan itu apa sih?

Coltan adalah nama industri untuk columbite-tantalite, sebuah mineral berharga yang dihasilkan dari ekstraksi elemen columbium (dikenal kemudian dengan niobium) dan tantalum. Setelah diolah dan dimurnikan, coltan menjadi serbuk logam tantalum, yang bersifat tahan panas dan karat, serta dapat menyimpan tenaga charge listrik lebih lama, sehingga bahan ini menjadi wajib ada dalam pembuatan batere telepon seluler. Tantalum sangat penting dalam pembuatan kapasitor, elemen elektronik yang mengatur arus listrik yang mengalir di papan sirkuit mini dalam perangkat elektronik.
Beberapa produk alat elektronik canggih yang menggunakan coltan untuk menjalankan fungsinya antara lain :
  1. Telepon selular.
  2. DVD player.
  3. Laptop dan komputer.
  4. Mesin jet dan roket.
  5. Lensa kamera.
  6. Film X-ray.
  7. Printer ink jet.
  8. Alat bantu dengar (hearing aids).
  9. Alat pacu jantung.
  10. Bantal udara mobil (Airbag Protection System).
  11. Game : PlayStation, Xbox dan Nintendo.
  12. Kamera video.
  13. Kamera digital.
  14. Sistem Proteksi cathodic untuk struktrur baja, misalnya jembatan (Chatodic Protection Systems).
  15. Pelat penopang tulang dan tengkorak dalam bidang kedokteran.
  16. Turbin bertemperatur tinggi.
  17. Alat-alat pemotong (Gunting, pemotong kuku atau pisau).
  18. Dan perangkat-perangkat elektonik lainnya.
Vitalnya tantalum ini menyebabkan dua produsen telepon seluler terkenal di dunia, NO*** dan S*** bersaing ketat dalam memperoleh tantalum sebanyak-banyaknya untuk memenuhi tuntutan produksi. Hal ini berimbas pada meroketnya harga coltan hingga mencapai US$400 hingga US$600 per kilogram, konon 2 hingga 3 kali lipat dari harga emas.

Pertambangan tantalum terdapat di Australia, Brazil, Canada, China, Ethiopia, Mozambique dan Kongo. Diperkirakan 80% dari produksi coltan di dunia dihasilkan di Kongo.


Bagaimana coltan ditambang?

Coltan ditambang melalui proses yang cukup primitif dan sederhana, layaknya menambang emas di tahun 1800an. Para penambang rata-rata bekerja di bawah tekanan, tanpa helm pengaman dan perlengkapan pelindung standar. Mereka biasa menambang dengan menggunakan tangan dan alat manual. Puluhan pria bekerja sama menggali lubang, menyingkirkan tanah dan kotoran untuk mendapatkan coltan di bawah permukaan tanah.

Penggalian dalam lorong-lorong galian yang sangat dalam dilakukan oleh tim yang terdiri atas 4 orang lelaki. Mereka menggali dalam kegelapan dan kedalaman tertentu selama 30 menit, lalu keluar untuk  menghirup udara segar. Kelompok kedua menggantikan menggali selama 30 menit, demikian seterusnya.

Para penambang lalu menyemprotkan air, mengayaknya dalam  wadah serupa wajan, untuk memisahkan lumpur dan kerikil tak berharga, dan membiarkan coltan mengendap di dasar wajan. Seorang penambang yang baik mampu menghasilkan 1 kg coltan per hari.

Penambangan coltan dibayar sangat baik untuk ukuran Kongo. Jika karyawan biasa digaji rata-rata US$10 setiap bulan, maka seorang penambang bisa memperoleh US$50 hingga US$200 setiap minggunya.

Kongo mendapatkan kemerdekaannya dari Belgia pada tahun 1960, meninggalkan sebuah negara miskin secara ekonomi dan situasi politik yang tak menentu akibat meletusnya perang sipil. Tahun 1965, Jenderal Joseph Mobutu mengambil alih pimpinan dan mengganti nama Kongo menjadi Zaire. Tahun 1997, negara ini berganti nama menjadi Democratic Republic of the Congo.

Kongo sebenarnya sangat kaya, karena memiliki 64% coltan yang ada di dunia. Sayang sekali, konflik di Kongo sangatlah kompleks dengan terus berlanjutnya perang etnis yang melibatkan warga sipil dan semakin rumit dengan adanya para pemberontak di dalam dan di luar Kongo.

Salah satu hasil tambang utama, coltan, telah menjadi ajang perebutan dan sengketa dalam perang tersebut oleh beberapa pihak, terutama karena pertambangan coltan terbesar terdapat di wilayah yang dikuasai oleh para pemberontak.

Negara produsen elektronik terbesar di dunia, yang telah mengimpor coltan dari Kongo, “dituduh” telah ikut andil memperpanjang dan memperuncing  issue eksploitasi wanita, remaja dan anak-anak yang dijadikan buruh tambang, sementara eksplorasi coltan sendiri dikuasai oleh para pemberontak dari dalam negeri dan dari negara tetangga.

Ironisnya, hasil penjualan coltan ke dunia barat digunakan untuk membeli senjata dan kemudian digunakan untuk mempersenjatai para pemberontak yang mengancam ketentraman warga sipil. Kira-kira telah tercacat 6.9 juta jiwa menjadi korban sejak 1998 di daerah konflik di Kongo.

Nah, Eropa dan Amerika menerima tudingan  telah  ikut andil dalam “membiayai” perang sipil di Afrika karena telah membeli coltan dari benua hitam itu, khususnya di Kongo yang mendapatkan keuntungan langsung dari penjualan coltan.


Pertanyaannya, sungguhkah Kongo mendapatkan keuntungan besar?

Laporan PBB mengatakan, Kongo telah mendapat tekanan dari negara tetangga, Rwanda, Uganda dan Burundi yang secara ilegal telah menyelundupkan coltan keluar negeri demi mendapatkan dana untuk membiayai perang sipil mereka.

Para penyelundup menjual coltan seharga hampir 1000x lebih mahal dibandingkan harga yang ditetapkan oleh penambang di Kongo. Sedangkan para penambang sendiri, hanya digaji kurang dari US$7 per hari (masih untung jika tidak dirampas sama pemberontak)

Semua negara tetangga yang terlibat perang menyangkal telah mengeksploitasi sumber daya alam Kongo. Pihak militer Rwanda sendiri telah mengantongi US$250 juta hasil penjualan coltan dalam 18 bulan meskipun tak sedikitpun coltan ditambang di Rwanda.

Sementara itu, perang sipil terus berlanjut, salah satunya untuk memperebutkan dan mempertahankan lahan tambang coltan. Warga sipil lah yang selalu menjadi korban.


Apa akibatnya bagi lingkungan?

Untuk mendapatkan lebih banyak coltan, pemberontak memaksa para penambang merambah jauh ke dalam  kawasan hutan lindung dan taman nasional Kongo, Kahuzi Biega National Park. Mereka membuka paksa hutan subur tempat gajah Afrika dan gorilla berkembang biak. Pembukaan hutan telah mengurangi sumber makanan gajah dan gorilla dan merusak habitat kedua binatang tersebut.

Bahkan, kemiskinan dan kelaparan akibat peperangan memaksa para penduduk sipil dan penambang membunuh gorilla untuk dimakan dan dijual dagingnya kepada para pemberontak yang menguasai wilayah tersebut.

Di Kahuzi Biega National Park, tercatat populasi gorilla telah menyusut dari 258 menjadi 130. Tragis!

Program Perlindungan Alam PBB mencatat, jumlah gorilla di seluruh taman nasional di wilayah Republik Demokrasi Kongo telah menyusut 90% dalam 5 tahun terakhir, dari 17.000 ekor gorilla, hanya 3000 ekor yang tersisa kini. Konon, banyak bayi-bayi gorilla yang gagal bertahan hidup setelah terpisah dari induknya yang terbantai.

Selain itu, hutan-hutan menjadi rusak parah, populasi hewan terancam punah dan menjadi keprihatinan dunia.


Dan kini?

Semerawutnya jalur disribusi antara coltan yang ditambang secara resmi dan coltan hasil operasi para pemberontak cukup membingungkan, dan untuk melacak asal muasalnya pun hampir tak mungkin.

Demi pencegahan, beberapa perusahaaan elektronik di beberapa negara telah mengeluarkan kebijakan menolak menggunakan coltan Afrika, dan memilih mengimpor coltan dari Australia (Tapi itu sebatas wacana saja).

Heemm…untuk kita, para pengguna telepon seluler, computer dan perangkat elektronik lainnya, memang hampir mustahil untuk berpartisipasi langsung menghentikan eksploitasi coltan di Afrika, sebab, selain coltan ini tak terlihat saat kita membeli telepon seluler, komputer atau elektronik lainnya, juga sulit membedakan coltan dari sumber penambangan legal dan ilegal. Mau bertanya pada penjual elektronik, saya jamin mereka juga nggak tahu asal muasalnya. (wong ditanya coltan aja mereka gak ngerti, apa lg asal muasalnya! )

Satu hal yang harus kita sadari, di balik kemajuan teknologi yang diagung-agungkan sebagian masyarakat modern, banyak darah tertumpah di belahan bumi sana, menyisakan tragedi kemanusiaan dan “kegorillaan” yang mengerikan.

Sumber:
 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar